Menjaga Martabat

oleh Bayu Gawtama

Bukan kebetulan, semua pasti sudah ada yang mengatur, tumben-tumbenan saya beli pulsa di konter hape pinggir jalan.

Sementara masih menunggu pulsa terisi, mata ini tertarik pada sesosok bapak paruh baya yang sedang melihat-lihat hape seken. Beberapa kali ia bertanya ke penjaga konter perihal harga beberapa hape yang ditunjuknya, namun beberapa kali pula dahinya mengernyit.

Akhirnya saya beranikan diri bertanya,
"mau beli hape pak?" Ia mengangguk, lalu tangannya kembali menunjuk satu hape lagi. Lagi-lagi ia murung, karena harganya terlalu mahal baginya.

"Hape nya buat bapak pakai sendiri?" tanya saya lagi. Ia hanya menggeleng. Kemudian hendak berlalu pergi. Langkahnya gontai, lalu saya tahan. "Buat siapa pak?"

"Saya sudah lama ingin memenuhi janji. Waktu ulang tahun anak saya yang SMA tahun lalu, saya janji akan belikan hape kalau ia berprestasi, nilai raportnya bagus..."

Lalu...

Intinya, janjinya sudah lewat satu tahun. Si anak sebenarnya nggak pernah menagih karena ia sadar keadaan bapaknya. Begitu yang saya tangkap dari ceritanya.

Tapi seorang Ayah pantang ingkar janji. Ia berusaha untuk membayar janjinya, meski harus tertunda sekian waktu. Dan hari ini, ternyata hari ulang tahun anaknya itu, ia berencana menunaikan janjinya sekaligus memberi kejutan. Tapi apa boleh buat, ia berencana menunda kembali janjinya. Sampai datang waktunya nanti.

"Memang Bapak pegang uang berapa?" tanya saya.

"Dua ratus lima puluh ribu..." sambil menunjukkan uang yang digulung dan diikat karet gelang. Hanya ada pecahan ribuan dan dua ribuan. Entah berapa lama ia mengumpulkannya.

"Boleh saya bantu?" sambil beri senyum terbaik.

Tapi ia menolak. "Saya harus membeli dengan yang saya sendiri," katanya.

Saya melirik hape yang tadi ditunjuk dan bertanya pelan ke penjaga perihal harganya.

"Oh bukan gitu pak, saya hanya akan bantu menawar harganya, biar bapak tetap bisa beli dengan uang itu," saya nggak mau kalah. Dan ia pun setuju. Tanpa ia ketahui kesepakatan antara saya dan penjual hape itu.

Akhirnya, Bapak itu tersenyum karena ia bisa membawa pulang janjinya. Boleh jadi itu hanya satu janji dari sekian banyak janji yang belum mampu ia penuhi. Entah kenapa tiba-tiba ia memegang tangan dan pundak saya lalu ia memijat-mijatnya. "Terima kasih anak muda, sudah bantu walau cuma bantu menawar harga hape itu, biar saya pijat sebentar untuk membalas kebaikan anak muda".

Takjub saya dengan Bapak ini. Ia menjaga martabat dirinya, bahkan ia mencoba membayar kebaikan saya dengan memijat pundak dan tangan ini.

Hari ini saya belajar lagi. Seorang Ayah bukan hanya pantang mengingkari janji, tetapi juga tetap harus menjaga martabat diri dan keluarganya. 

@bayugawtama
Sumber : http://www.kisahinspirasi.com/2016/07/menjaga-martabat.html

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar